Sunday, February 21, 2016 0 comments

A Years Ago

Ah, akhirnya aku kembali berjumpa dengan dirimu. Kau yang dulu pernah membuatku risih, gemas, kesal, canggung, sekaligus tertarik. Dirimu tak banyak berubah. Hanya tatanan rambutmu yang makin gondrong tanpa pomade yang dulu sering kau pakai. Aku masih ingat betapa menusuk wangi pomade yang kau pakai. Kalau diingat-ingat, rasanya ingin aku mencuci rambutmu ketika aku mencium wangi pomade yang kau pakai. Oh, ada satu lagi yang berubah dari dirimu. Tubuhmu makin gagah. Otot kedua lenganmu semakin padat. Bila aku baru mengenalmu, aku pasti sudah klepek-klepek membayangkan dirimu menggandeng tanganku.

Tak banyak yang berubah dari dirimu. Gaya berpakaian tetap seperti dahulu. Kaus oblong putih, plaid shirt, celana denim, dan hiking boots. Pribadimu juga tak berubah. Aku seperti melihat seseorang dengan dua elemen yang bertolak belakang. Fire and ice. Ada kedewasaan sekaligus sifat kekanak-kanakan. Lembut sekaligus agresif. Meneduhkan sekaligus membakar jiwa yang sedang menggelora. Jinak seperti merpati namun juga liar seperti singa. Pertama kali aku mengenalmu, kesan pertama yang kudapatkan darimu ialah rasa takut yang menyergapku. Seakan kau siap menerjang bak singa lapar yang hendak memangsa anak rusa. Seringkali aku bertanya-tanya sebelum aku terlelap, apakah ia akan mencabik-cabik diriku, mencakar-cakar seperti kucing untuk mendapatkan sedikit perhatian dariku?

Kau membutuhkan seorang pengendali. Sepertinya aku akan segera menjelma sebagai Aang—tokoh utama dalam film Avatar The Last Airbender. Mengendalikan elemen-elemen alam semesta. Aku takkan menjadi Pangeran Zuko atau Putri Azula yang menggebu-gebu ketika mengendalikan api, seolah turut hidup bersama api di tangan mereka. Pendek kata, kau masih labil. Kelabilan dalam dirimu membuatmu agresif dalam bertindak. Kau boleh agresif dalam memenangkan pertarungan melawan kemalasan dan mencapai prestasi yang kau dambakan, namun jangan lakukan itu ketika hendak memenangkan hati seorang perempuan.

You’re so wild. Aku berusaha berpaling darimu. Bahkan aku tak segan membiarkanmu pergi dengan membawa luka. Setelah aku membiarkanmu pergi, bukannya aku merasa lega, justru sesak yang memenuhi dadaku. Kau berhasil mencuri sebagian dari jiwaku dan kau tak mengembalikannya. Kau bawa lari begitu saja bersama hidupmu yang terus bergulir. Aku menangis, tak berhenti merutuk, sembari bertanya: What I’ve done? Apa yang telah kulakukan?

Aku berusaha melupakan apa yang telah terjadi di antara kita. Kita berpacu dengan masa muda. Berlari bersama waktu. Mengubur diri dalam rutinitas, mendaki menuju puncak yang hendak dituju, berusaha menemukan sesuatu yang baru, bahkan menemukan seseorang untuk bersembunyi dari kejaran peristiwa yang belum berakhir dengan dalih mencari jati diri dan menulis bab baru dalam sejarah hidup. Manusia akan hidup bersama waktu yang terus menuntut perkembangan kemampuan adaptasi diri dengan dinamika dunia. Tidak ada novel yang hanya terdiri dari sebuah bab tunggal. Begitu pula dengan hidup manusia. Manusia tidak akan hanya menulis satu bab dalam kisah hidupnya. Karena manusia adalah makhluk sosial. Hidup bersama orang lain dapat menciptakan suatu bab baru setiap harinya.

Kau masih menyapaku dengan nama depanku. Kau nakal sekali. Kau hilangkan huruf ketiga dari nama depanku. Tak apa. Justru terdengar keren. Hanya kau satu-satunya orang yang memanggilku seperti itu. Pernah salah seorang temanku menanyakan tentang caramu memanggilku,

"Kok dia manggil kamu kaya gitu sih?"
"Biarin aja. Selama nggak manggil dengan julukan aneh-aneh, ya nggak apa-apa."

Hahahaha. Lupakan soal tadi. Kembali ke laptop... eh, topik.

Aku merindukan masa-masa ketika kau dan aku bersama menutup telinga dari omongan miring mereka tentang kita. Kata mereka, aku ini aneh. Kata mereka, kau egois. Aku merindukan sore ketika kau membawakan semangkuk bakso untuk menemaniku melawan dingin hujan. Aku merindukan wangi jaketmu yang sempat kau sampirkan di tubuhku.

Apa yang kau rindukan dariku?

"Semua tentang kita," ujarmu. "Aku sangat merindukanmu. Aku masih ingin bersamamu."

Aku pun demikian. Aku ingin bersamamu, tetapi tak sekarang.


"Maybe we’ll meet again one day when you’re not so broken and I’m not so jealous. Maybe one day we’ll be right for each other and it won’t be so hard for you to love me. I really hope that one day we’ll reconnect because no one has ever caught my heart in quite the same way.
 But that day isn’t today. Today, you’re too broken and I’m too pushy. Today we don’t quite work out and as much as I care for you, I can’t keep pretending that we do.
 So I’m saying goodbye. But maybe one day, I won’t have to."
 — Letters to the next (god im going to miss you)

 
;