Tuesday, December 20, 2016 0 comments

Pulang

Rindukah engkau akan rumah kecilmu?
Sendu hari-hariku tanpa suaramu yang memanggilku.
Kini sendu makin menusuk hatiku, merenggut seluruh kebahagiaan yang kupunya.
Tak rindukah engkau akan daku? Ingin kudengar cerita-ceritamu di rantau. Sedu sedan serta tawamu. Lama sudah kita tak bercerita di ruang makan.
Entah kapan terakhir aku mengecup keningmu, raja kecilku.
Aku rindu tuk membelaimu
dengan kedua mata kepalaku sendiri, ingin kulihat ketampanan dan gagah dirimu.
Maafkan aku tak dapat merengkuhmu dengan kedua tanganku. Jauh. Begitu juga dengan hatimu kini.
Ku bertanya di tiap sujudku, mengapa?
Kau akan pergi, tetapi jangan renggut terang yang kau tinggalkan untukku.
Dikau, raja kecil di rumahku dan akan selalu bertahta di sini.
Ya, di rumah ini,
dan di dalam hatiku.
Lahirkan kembali bahagia dalam diriku yang telah dihisap kehampaan.
Pulanglah, raja kecilku.
Friday, November 25, 2016 0 comments

Bersandiwara

Ini wajahku
buruk rupa
bengis
lalim
menyedihkan

Mana wajahmu?
Tunjukkan padaku wajah di balik sinaran itu
Lihat celah itu, celah yang bisa kutembus
Kan kurobek celah rapuh itu,
biar kulihat luka-lukamu
berapa puluh jahitan yang dokter buat di wajahmu?
Aku ini baik hati
Siapa tahu kita bisa saling mencakar,
lalu menertawakan kebodohan yang barusan kita lakukan.
Wednesday, October 26, 2016 0 comments

Bisik

Pesan wanita pada lelakinya yang sedang menanti waktu bersua

Tak usah kau mencari bayangku
Biar sekali-kali kau merindu, mencandu seperti pria gondrong di sudut jalan dekat terminal yang sedang menghisap ganja
Malam ini dingin
Hujan turun sedari dirimu masih terlelap dibuai bunga-bunga tidur
Purnama tak bisa memamerkan pakaiannya yang dipinjamnya dari mentari
Padahal tadi ia mendapatkannya dengan paksa
Seharian bulan ribut dengan mentari,
Mentari ingin tampil gagah, walau gorden merah sudah menutup panggung yang sudah uzur dimakan rayap
Tetapi purnama ngotot pinjam pakaian kesayangan mentari.
Percuma tenaganya terbuang.

Merindulah
Seperti esok akan ada emas yang akan kau peroleh di ujung pelangi
Ingatlah diriku, seakan aku akan bangun dalam lingkar dekapmu di suatu pagi yang sejuk
Jangan menanti tukang pos yang membawa balasan surat cinta dariku,
Biar kau tahu rasanya menunggu
Mendamba
Mencinta
Dalam sepi

Mengembun bersama embun pagi
Friday, October 21, 2016 0 comments

Ada Kasih di Kamar Tidur

Gelap
Di sana Ia hadir menyalakan pelita di kaki dian
Terang
Aku bersua dengan-Nya.
Sinaran wajah-Nya adalah rahmat
Hangat ku didekap, menjaga dari yang jahat.

Ini kasih
abadi
luhur
suci
bukan maya
Dalam gulita kutemukan

Ini kasih
Ia tak beranjak
Ia ada dimana-mana, tapi bisakah kau temukannya
di tempat yang paling dekat denganmu?
Tak perlu ku berlari menyepi
mengubur diri dalam kehampaan
Aku bisa temukannya
Kudapatinya bersemayam dalam relung sukma
dan di kamar tidurku.

Esok, ketika fajar telah bersiaga
Ia hembuskan nafas baru, segar, diramu dengan dingin embun subuh
Aku masih terpejam di balik selimut
Dibisikkannya di telingaku: selamat pagi

Ini kasih
Kudapatinya bersemayam dalam relung sukma
dan di kamar tidurku.


Friday, September 23, 2016 0 comments

Gugur dan September

(1)

Lihat guguran daun-daun itu
menguningkan aspal
Sejenak mereka membayangkan kehidupan setelah diterbangkan angin dari ranting-ranting yang merindu kehilangan
Biasanya mereka bersandar pada ibu pohon
menceritakan ribuan pagi dan senja dalam triwarna
kadang menertawakan anak-anak Adam
kadang menyanyi bersama burung-burung gelatik yang bertengger

Besok bulan September. Katamu.

Semalam kau ucapkan selamat tidur.
Satu kecup.
Kau antarkanku ke gerbang duniaku yang lain.


(2)

Semoga fajar menghadiahkan emas untukmu di bibir cakrawala
ketika kau membuka matamu di hari pertama bulan September,
kiranya matamu bersinar seperti jingga yang merekah dari awan-awan yang malu
Jiwamu jangan turut gugur bersama dedaunan pohon di depan rumahmu
Biar mereka menguning, terurai bersama tanah, menjadi ibu yang mengandung benih kehidupan
Ada kalanya pohon-pohon berduka, tapi jangan dirimu,
Kekasih, aku ingin melihat bunga-bunga bersemi di matamu esok.



Thursday, August 11, 2016 0 comments

Ada Damai di Kamar Mandi

bilur-bilur air kubiarkan menelanjangi tubuhku
membasuh resah
menyapu kotor
memadamkan api
mencairkan kutub
menyisipkan dingin dalam pori-pori
aku datang kembali
baru,
damai,
dan bahagia
dari akar rambut, ujung rambut, hingga kuku kaki.
di kamar mandi ini aku bertanya
untuk apa damai dan bahagia bersanding di kursi pelaminan
sedangkan di luar gedung pesta kulihat perang tak usai
sering orang bertanya, di mana kudapat damai dan bahagia
jawabannya?
di kamar mandi.
Wednesday, August 10, 2016 0 comments

Terinjak

Bungkamlah mulutku agar lidahku tak mengucap.
Tangan besimu boleh menggiringku ke bui gelap.
Wahai kau yang duduk angkuh di kursi kehormatan,
berapa emas kau dulang demi menyeret anak untuk meratap?
Sipirmu takkan melihat nanar dalam tatap
enggan gelap berdiri mantap
Dingin lantai ini erat membekap,
tapi kasih hangat mendekap.
Telanjur raga kau sekap
sukmaku lepas menembus atap
Maut menyusup celah jeruju dalam senyap
coba lucuti nyawa dalam kejap
Kedua mataku berjaga selagi terlelap
Menyulap maut jadi kudapan sedap

Lidah ini boleh kau putus hungga tak dapat aku mengecap.
Wahai kau yang duduk di singgasana reyot,
berapa lama lagi kau mengenyakkan diri di kursimu yang berayap?
Kakimu melangkah gagah, tapi melafal satu kata kau gagap.
Retorikamu mengasihi telinga-telinga yang haus,
namun lakumu sama seperti harimau kalap.
Mereka kau janjikan gerlap,
anak-anakmu lewati hari menggetap-getap.

Esok tiada lagi dirimu bercuap
karena dirimu hanya tinggal abu, sisa dari api dan asap.



27 Juli 2016, 00:24

Terima kasih @InrillianHF atas pencerahanmu. Kalau nggak ada kamu, puisi ini nggak ada judulnya. Danke :)
Tuesday, June 28, 2016 0 comments

Mati

"Bagaimana rasanya mati?"

Suatu saat aku menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri. Apakah seperti yang dikatakan Sirius Black pada Harry Potter: quicker than falling asleep—terasa lebih cepat daripada ketika terlelap? Akankah prosesnya terasa menyiksa, sehingga aku akan menjerit-jerit hingga semua orang yang di dekatku akan menutup telinga sambil membatin miris dan iba? Atau hanya seperti orang yang mengantuk: menguap sedikit, otot-otot mata tak lagi kuat membuka kelopak mata hanya demi melihat untuk yang terakhir kali, lalu tertidur begitu saja? 

Bagaimana rasanya mati? 

Aku belum pernah melihat secara langsung seperti apa perjalanan manusia meninggalkan raganya yang fana. Bagaimana prosesnya? Seumur hidup, aku hanya pernah melihat hasil akhir. Sang raga dibalut dengan pakaian yang indah. Seikat bunga diselipkan dalam genggaman tangan raga yang telah ditinggal jiwa. Terkadang ada pula yang memasukkan benda-benda kesayangannya ke dalam peti: boneka, kalung kesayangan, kitab suci (yang nantinya semua itu takkan turut dikubur bersama jenazah). Terkadang aku melihat raga yang akan diantarkan ke dalam liang sedalam dua meter itu ditutup kain kafan. Lalu, raga yang telah lepas dari jiwanya itu diantarkan ke liang lahat dengan untaian doa, derai tangis di sana-sini, jerit pilu, kata-kata perpisahan yang dibuat dadakan (seringkali berisi cerita mengenai apa yang dialami bersama mendiang karena tidak tahu harus berkata apa), lantunan elegi, bunga tabur, dan air yang disiramkan seusai raga itu dibaringkan di pembaringan terakhirnya.

Aku ingin tahu rasanya, serta aku ingin tahu apa yang akan terjadi setelah jiwaku berpisah dengan ragaku. Aku juga ingin tahu apa yang dipikirkan orang-orang ketika aku mati. 

Mungkin ada yang menangis, ada yang membisu, ada yang mencoba berdiri tegar, bahkan mungkin ada yang tersenyum senang atau tertawa setelah pemakamanku.

Aku ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan ketika aku pergi. Aku ingin mendengar dengan telingaku sendiri apa yang mereka katakan tentangku. 

Bagaimana rasanya mati? Dengan cara apakah aku akan mati? Di manakah aku akan mati? 

Akankah nyawaku melayang dalam sebuah tragedi mengenaskan? Atau aku akan mati konyol? Atau mungkin dalam tidur malamku? 

Rahasianya ada pada Sang Khalik. 




Tuesday, June 21, 2016 1 comments

Dingin Senja

Lagi-lagi senja yang menyatukan kita.
Kali ini kau serahkan dirimu padaku untuk kumiliki, walau hanya untuk satu senja, hingga biru berubah menjadi kelabu.
Sekarang hanya ada dirimulelaki yang berada di balik kemudi mobil,
dengan jiwa seorang prajurit.
Melindungi dan memperjuangkan yang lemah agar tetap hidup.
Perempuan di sampingmu ialah seorang martir.
Wajahnya tak rupawan,
tak bersayap,
tetapi di dalam hatinya, meregang nyawa demi yang dicintainya pun ia rela.

Hati lelaki yang putih itu telah diserahkan pada perempuan berkepala seperti alam semesta.
Bunga-bunga yang bermekaran dalam kebun milik martir telah mengering.
Ketika kebun bunga sang martir telah tinggal daun-daun bau tanah,
lelaki itu datang lagi untuk menyirami agar tumbuh warna-warni yang pernah ia lihat dahulu.

Sudah terlambat.

Mentari tak berani memamerkan taringnya setelah dikalahkan oleh sisa-sisa dingin hujan kemarin.
Hanya hangat dan cahaya yang diberinya.
Dingin hujan kemarin tak menembus tulang-tulangku.
Kau beriku kehangatan lebih dari yang ditawarkan mentari di langit sana.

Lagi-lagi senja yang menyatukan kita.
Kau ingin bertemu denganku untuk yang terakhir.
Hati ini merindu, mencarimu, dan memilikimu untuk terakhir kalinya saja sudah cukup buatku berbunga.
Aku tak meminta lebih darimu.
Melihat senja di matamu saja sudah cukup.

Terbanglah.
Kita adalah burung-burung yang belajar mengepakkan sayap-sayap lebar.
Mungkin suatu saat nanti aku akan terbang bersamamu.




20 Juni 2016.

Dingin Senja merupakan kelanjutan dari Di Bawah Mentari Senja
Thursday, May 5, 2016 0 comments

Susah Tidur

Lantunan rindu bagi kekasih

Biarlah, biarlah
diriku dan dirimu berjumpa dalam mimpi
Melepas rindu tak berujung
hingga tangis tak terbendung.

Rindu ini kugantungkan pada bintang-bintang
di langit tanpa bulan.
Kuucap dalam doa, 
dari diri yang rapuh, mencari kepingan yang hilang

Semoga kita berjumpa di padang
Hanya ada mentari, angin, dan kita
serta asa yang menari dalam jiwa, mendamba hari bahagia.
Kita kan berjumpa
Aku akan menanti di bawah beringin tua
menyenandungkan lagu cinta tentang kita
Dan kau akan datang membawa seikat hasrat di tanganmu
Aku akan melihatmu bermandi cahaya
hingga lupa letih dalam sukma
Kita akan menari
dalam pentas tanpa penonton
Rengkuhlah diriku
Satukan seluruh jiwa dan raga denganmu

Aku menantimu.
Sunday, May 1, 2016 0 comments

Menanti

Kulihat rupa dirimu dalam lamunan sendu
Menatap rinai hujan kala senja
Binatang-binatang bercangkang baja hilir mudik di padang aspal
Sorot lampu jalan temaram menyaksikan ibu dan bayinya berteduh di toko tua seberang jalan
Secangkir kopi tubruk menemanimu
entah apa yang akan kau lakukan,
buku tulis bersampul kulit itu menanti goresan tinta penamu.
Ah, kau rupanya sedang menanti dia,
si pemberi buku tulis itu.
Dia tak kunjung datang.
Kulihat air di pelupuk matamu, tertahan.
Kau melepas kacamatamu
Diam-diam kau terisak
Tiada yang dapat mendengar jeritmu selain telingamu
Jerit rindu tak terperi
hingga maut menjemput di kala pagi

Sudahlah, lepaskan saja
kataku padanya.
Ah, percuma saja.
Siapakah aku ini?
Aku hanyalah zat tak berwujud.
Aku menyaksikan begitu banyak penderitaan
namun tak bisa berbuat selain menjadi penonton
Aku berkata-kata puitis pun tiada terdengar

Akhirnya kau menggoreskan penamu di sana
menuliskan jeritanmu
sembari menyesap kopi
Air mata masih mengalir di wajahmu
Kuintip sedikit tulisan di sudut bukumu:
"Cinta, kapan kau kembali?"


Sunday, February 21, 2016 0 comments

A Years Ago

Ah, akhirnya aku kembali berjumpa dengan dirimu. Kau yang dulu pernah membuatku risih, gemas, kesal, canggung, sekaligus tertarik. Dirimu tak banyak berubah. Hanya tatanan rambutmu yang makin gondrong tanpa pomade yang dulu sering kau pakai. Aku masih ingat betapa menusuk wangi pomade yang kau pakai. Kalau diingat-ingat, rasanya ingin aku mencuci rambutmu ketika aku mencium wangi pomade yang kau pakai. Oh, ada satu lagi yang berubah dari dirimu. Tubuhmu makin gagah. Otot kedua lenganmu semakin padat. Bila aku baru mengenalmu, aku pasti sudah klepek-klepek membayangkan dirimu menggandeng tanganku.

Tak banyak yang berubah dari dirimu. Gaya berpakaian tetap seperti dahulu. Kaus oblong putih, plaid shirt, celana denim, dan hiking boots. Pribadimu juga tak berubah. Aku seperti melihat seseorang dengan dua elemen yang bertolak belakang. Fire and ice. Ada kedewasaan sekaligus sifat kekanak-kanakan. Lembut sekaligus agresif. Meneduhkan sekaligus membakar jiwa yang sedang menggelora. Jinak seperti merpati namun juga liar seperti singa. Pertama kali aku mengenalmu, kesan pertama yang kudapatkan darimu ialah rasa takut yang menyergapku. Seakan kau siap menerjang bak singa lapar yang hendak memangsa anak rusa. Seringkali aku bertanya-tanya sebelum aku terlelap, apakah ia akan mencabik-cabik diriku, mencakar-cakar seperti kucing untuk mendapatkan sedikit perhatian dariku?

Kau membutuhkan seorang pengendali. Sepertinya aku akan segera menjelma sebagai Aang—tokoh utama dalam film Avatar The Last Airbender. Mengendalikan elemen-elemen alam semesta. Aku takkan menjadi Pangeran Zuko atau Putri Azula yang menggebu-gebu ketika mengendalikan api, seolah turut hidup bersama api di tangan mereka. Pendek kata, kau masih labil. Kelabilan dalam dirimu membuatmu agresif dalam bertindak. Kau boleh agresif dalam memenangkan pertarungan melawan kemalasan dan mencapai prestasi yang kau dambakan, namun jangan lakukan itu ketika hendak memenangkan hati seorang perempuan.

You’re so wild. Aku berusaha berpaling darimu. Bahkan aku tak segan membiarkanmu pergi dengan membawa luka. Setelah aku membiarkanmu pergi, bukannya aku merasa lega, justru sesak yang memenuhi dadaku. Kau berhasil mencuri sebagian dari jiwaku dan kau tak mengembalikannya. Kau bawa lari begitu saja bersama hidupmu yang terus bergulir. Aku menangis, tak berhenti merutuk, sembari bertanya: What I’ve done? Apa yang telah kulakukan?

Aku berusaha melupakan apa yang telah terjadi di antara kita. Kita berpacu dengan masa muda. Berlari bersama waktu. Mengubur diri dalam rutinitas, mendaki menuju puncak yang hendak dituju, berusaha menemukan sesuatu yang baru, bahkan menemukan seseorang untuk bersembunyi dari kejaran peristiwa yang belum berakhir dengan dalih mencari jati diri dan menulis bab baru dalam sejarah hidup. Manusia akan hidup bersama waktu yang terus menuntut perkembangan kemampuan adaptasi diri dengan dinamika dunia. Tidak ada novel yang hanya terdiri dari sebuah bab tunggal. Begitu pula dengan hidup manusia. Manusia tidak akan hanya menulis satu bab dalam kisah hidupnya. Karena manusia adalah makhluk sosial. Hidup bersama orang lain dapat menciptakan suatu bab baru setiap harinya.

Kau masih menyapaku dengan nama depanku. Kau nakal sekali. Kau hilangkan huruf ketiga dari nama depanku. Tak apa. Justru terdengar keren. Hanya kau satu-satunya orang yang memanggilku seperti itu. Pernah salah seorang temanku menanyakan tentang caramu memanggilku,

"Kok dia manggil kamu kaya gitu sih?"
"Biarin aja. Selama nggak manggil dengan julukan aneh-aneh, ya nggak apa-apa."

Hahahaha. Lupakan soal tadi. Kembali ke laptop... eh, topik.

Aku merindukan masa-masa ketika kau dan aku bersama menutup telinga dari omongan miring mereka tentang kita. Kata mereka, aku ini aneh. Kata mereka, kau egois. Aku merindukan sore ketika kau membawakan semangkuk bakso untuk menemaniku melawan dingin hujan. Aku merindukan wangi jaketmu yang sempat kau sampirkan di tubuhku.

Apa yang kau rindukan dariku?

"Semua tentang kita," ujarmu. "Aku sangat merindukanmu. Aku masih ingin bersamamu."

Aku pun demikian. Aku ingin bersamamu, tetapi tak sekarang.


"Maybe we’ll meet again one day when you’re not so broken and I’m not so jealous. Maybe one day we’ll be right for each other and it won’t be so hard for you to love me. I really hope that one day we’ll reconnect because no one has ever caught my heart in quite the same way.
 But that day isn’t today. Today, you’re too broken and I’m too pushy. Today we don’t quite work out and as much as I care for you, I can’t keep pretending that we do.
 So I’m saying goodbye. But maybe one day, I won’t have to."
 — Letters to the next (god im going to miss you)

 
;