Tuesday, June 28, 2016 0 comments

Mati

"Bagaimana rasanya mati?"

Suatu saat aku menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri. Apakah seperti yang dikatakan Sirius Black pada Harry Potter: quicker than falling asleep—terasa lebih cepat daripada ketika terlelap? Akankah prosesnya terasa menyiksa, sehingga aku akan menjerit-jerit hingga semua orang yang di dekatku akan menutup telinga sambil membatin miris dan iba? Atau hanya seperti orang yang mengantuk: menguap sedikit, otot-otot mata tak lagi kuat membuka kelopak mata hanya demi melihat untuk yang terakhir kali, lalu tertidur begitu saja? 

Bagaimana rasanya mati? 

Aku belum pernah melihat secara langsung seperti apa perjalanan manusia meninggalkan raganya yang fana. Bagaimana prosesnya? Seumur hidup, aku hanya pernah melihat hasil akhir. Sang raga dibalut dengan pakaian yang indah. Seikat bunga diselipkan dalam genggaman tangan raga yang telah ditinggal jiwa. Terkadang ada pula yang memasukkan benda-benda kesayangannya ke dalam peti: boneka, kalung kesayangan, kitab suci (yang nantinya semua itu takkan turut dikubur bersama jenazah). Terkadang aku melihat raga yang akan diantarkan ke dalam liang sedalam dua meter itu ditutup kain kafan. Lalu, raga yang telah lepas dari jiwanya itu diantarkan ke liang lahat dengan untaian doa, derai tangis di sana-sini, jerit pilu, kata-kata perpisahan yang dibuat dadakan (seringkali berisi cerita mengenai apa yang dialami bersama mendiang karena tidak tahu harus berkata apa), lantunan elegi, bunga tabur, dan air yang disiramkan seusai raga itu dibaringkan di pembaringan terakhirnya.

Aku ingin tahu rasanya, serta aku ingin tahu apa yang akan terjadi setelah jiwaku berpisah dengan ragaku. Aku juga ingin tahu apa yang dipikirkan orang-orang ketika aku mati. 

Mungkin ada yang menangis, ada yang membisu, ada yang mencoba berdiri tegar, bahkan mungkin ada yang tersenyum senang atau tertawa setelah pemakamanku.

Aku ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan ketika aku pergi. Aku ingin mendengar dengan telingaku sendiri apa yang mereka katakan tentangku. 

Bagaimana rasanya mati? Dengan cara apakah aku akan mati? Di manakah aku akan mati? 

Akankah nyawaku melayang dalam sebuah tragedi mengenaskan? Atau aku akan mati konyol? Atau mungkin dalam tidur malamku? 

Rahasianya ada pada Sang Khalik. 




Tuesday, June 21, 2016 1 comments

Dingin Senja

Lagi-lagi senja yang menyatukan kita.
Kali ini kau serahkan dirimu padaku untuk kumiliki, walau hanya untuk satu senja, hingga biru berubah menjadi kelabu.
Sekarang hanya ada dirimulelaki yang berada di balik kemudi mobil,
dengan jiwa seorang prajurit.
Melindungi dan memperjuangkan yang lemah agar tetap hidup.
Perempuan di sampingmu ialah seorang martir.
Wajahnya tak rupawan,
tak bersayap,
tetapi di dalam hatinya, meregang nyawa demi yang dicintainya pun ia rela.

Hati lelaki yang putih itu telah diserahkan pada perempuan berkepala seperti alam semesta.
Bunga-bunga yang bermekaran dalam kebun milik martir telah mengering.
Ketika kebun bunga sang martir telah tinggal daun-daun bau tanah,
lelaki itu datang lagi untuk menyirami agar tumbuh warna-warni yang pernah ia lihat dahulu.

Sudah terlambat.

Mentari tak berani memamerkan taringnya setelah dikalahkan oleh sisa-sisa dingin hujan kemarin.
Hanya hangat dan cahaya yang diberinya.
Dingin hujan kemarin tak menembus tulang-tulangku.
Kau beriku kehangatan lebih dari yang ditawarkan mentari di langit sana.

Lagi-lagi senja yang menyatukan kita.
Kau ingin bertemu denganku untuk yang terakhir.
Hati ini merindu, mencarimu, dan memilikimu untuk terakhir kalinya saja sudah cukup buatku berbunga.
Aku tak meminta lebih darimu.
Melihat senja di matamu saja sudah cukup.

Terbanglah.
Kita adalah burung-burung yang belajar mengepakkan sayap-sayap lebar.
Mungkin suatu saat nanti aku akan terbang bersamamu.




20 Juni 2016.

Dingin Senja merupakan kelanjutan dari Di Bawah Mentari Senja
 
;