Kulihat rupa dirimu dalam lamunan sendu
Menatap rinai hujan kala senja
Binatang-binatang bercangkang baja hilir mudik di padang aspal
Sorot lampu jalan temaram menyaksikan ibu dan bayinya berteduh di toko tua seberang jalan
Secangkir kopi tubruk menemanimu
entah apa yang akan kau lakukan,
buku tulis bersampul kulit itu menanti goresan tinta penamu.
Ah, kau rupanya sedang menanti dia,
si pemberi buku tulis itu.
Dia tak kunjung datang.
Kulihat air di pelupuk matamu, tertahan.
Kau melepas kacamatamu
Diam-diam kau terisak
Tiada yang dapat mendengar jeritmu selain telingamu
Jerit rindu tak terperi
hingga maut menjemput di kala pagi
Sudahlah, lepaskan saja
kataku padanya.
Ah, percuma saja.
Siapakah aku ini?
Aku hanyalah zat tak berwujud.
Aku menyaksikan begitu banyak penderitaan
namun tak bisa berbuat selain menjadi penonton
Aku berkata-kata puitis pun tiada terdengar
Akhirnya kau menggoreskan penamu di sana
menuliskan jeritanmu
sembari menyesap kopi
Air mata masih mengalir di wajahmu
Kuintip sedikit tulisan di sudut bukumu:
"Cinta, kapan kau kembali?"
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment